PEMIKIRAN POLITIK SUNNI
Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir
politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa.
Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik Sunni cenderung membela dan
mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan
mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan, namun atas
pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini
dipresentasikan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.
Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan
Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa
zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin.Munawir Sjadzali dalam
bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Ali
Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya
kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang
diberikan kepada hamba – hamba pilihan – Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga
pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah Ghazali adalah muqaddas atau
suci, tidak dapat diganggu gugat. Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi
keistimewaan hak – hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu
Dan Dialah yang menjadikan kamu
penguasa – penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian
(yang lain) beberapa erajat.Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan – Nya
kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan – Nya, dan sesungguhnya Dia
Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.(QS.Al – An’am, 6:165).
Hai orang –orang yang beriman,
ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.Kemudian
jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
– Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar – benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.(QS.Al – Nisa’,4:59).
Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat
diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi keistimewaan kepada
para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di bumi –
Nya.Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati,
mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan
oleh al – Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa
pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan
berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran – ajaran agama dapat
terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya
adalah negara.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa
keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin
jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum – hukum
Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn
Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan
terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan
tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.
Mawardi berpendapat bahwa sumber
kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan
rakyatnya atau adanya kontrak sosial.Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan
kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan
penguasa.Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al – Mawardi yakni
menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih.
Kepatuhan ini tidak hanya kepada
pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.
Ciri lain didalam pemikiran politik
golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai kepala
negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad
Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang
masih menekankan suku Quraisy di dalam pemikiran politiknya.
Namun sebagai mana disinggung Iqbal
pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarat
Quraisy bukanlah sebuah harga mati.
PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH
Sebelum merambah lebih jauh lebih jauh
mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa tidak sah dan nyaman bila tidak
mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini.Mengenai kelahiran kelompok ini banyak
sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan
bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang
sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik
Islam, selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah
karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan
berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali, para ahli penulis
sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian
menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada
saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai
pertemuan Saqifah Bani Sa’idah, yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang
dikenal dengan Dar al – Nadwa di Madinah, dan lebih jauh dijelaskan sebagian
ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan
atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan dijelaskan dalam
Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang paling populer
adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali
dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at
– Tahkim atau arbitasi.Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini
dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam
Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil
pada akhir masa Ali.
Pada perkembangan selanjutnya, aliran
Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan
karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum
atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.
Kaum Syi’ah menetapkan bahwa seorang
imam:
1.
Harus ma’shum
(terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2.
Seorang imam
boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
3.
Seorang iam
harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan dengan
syari’at.
4. Imam adalah
pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari
penyelewengan.
Tidak seperti kelompok syi’ah lainnya
Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi.Bagi mereka
imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah
Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu
untuk menjadi imam.Nabi hanya menetapkan sifat – sifat yang mesti dimiliki
seorang imam yang akan menggantikan beliau.Terjadinya pengkultusan terhadap
diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimn dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa
lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim
(arbitrase).Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka anggap
berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk
menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat
ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai
imam untuk pengganti Nabi.
Iqbal menulis, secara sosio – politik,
berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor.Pertama,
imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan
politik.Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan
kesalehan yang tinggi.Merek tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah
dan menangani permaslahan politik riil.Ketika mereka melihat realitas politik
tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka
mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam.Sebagian pemimpin yang ide.Kedua,
sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam
corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan
raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu
kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan
Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.Ketiga,
pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik
ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang
akan melepaskan mereka dari penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok ditubuh
syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama:
Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali sebagai
seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang
mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga: diantara kedua kelompok
diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan
Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti
nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
Diantara sekian banyak sekte, terdapat
3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu:
Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’ Asy’ariyah).
Sebelum membahas lebih lanjut sebaiknya
mengetahui nama – nama masing imam dalam tubuh Syi’ah:
1.
Zaidiyah: Ali
bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid ibn Ali.
2.
Isma’iliyah
atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal
Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Isma’il ibn Ali.
3.
Imamiyyah atau
Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal
Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Musa al – Kadzim, Ali al –
Ridho, Muhammad al – Taqi’, Ali al – Hadi, Hasan al – Askari, Muhammad al –
Mahdi.
PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ
Kelompok Khawarij muncul bersama dengan
mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan
khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali
bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab
Syi’ah.
Khawarij adalah kelompok sempalan yang
memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim
yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di
Siffin. Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok
yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim
atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn
Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat
Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan
besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim
dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka
telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih
sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit
menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para
pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang
ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat
kelompok ini terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok.
Menurut mereka, hak untuk menjadi
kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan
Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. Meskipun mereka
cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh
Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni
maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada
enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan
mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal
membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak –
hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan
khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana
pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al –
Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan
Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern,
juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum
Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang
disepakati oleh aliran – aliran Khawarij.
Pertama, pengangkatan
khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan
dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada
jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari
kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang
berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan
khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy
sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan
menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij
bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya,
apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan
mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau
keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal
dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat
dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam
menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya
bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban
berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang
berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang
lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu
bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan
Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu
berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka
siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang
selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan
pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan
manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang
sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura
untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan
kedemokrasian klompok ini.
PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH
Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya
merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap
kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. Dengan terjadinya
konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang
keempat.
Penanaman kelompok ini dengan
Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan – perbedaan antara
Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II H, tentang
penilaian orang yang berbuat banyak dosadalam referensi lain disebutkan orang
yang berbuat dosa besar. Namun Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali
asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka
namun belum ada kata sepakat antara mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya
berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan
situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu’tazilah merambah
kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar
yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga
khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas
mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam
karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah
manusia.
Abd al – Jabar menempatkan kepala
negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala
negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat
Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara,
menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia
mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat
Islam sendiri.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas sebagai
pelengkap dari makalah ini ada tiga pemikiran politik kenegaraan dalam
Islam.Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh
kelompok Sunni.Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah kecuali
Syi’ah Zaidiyah.Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij.
Dengan mengetahui pemikiran politik
masing - masing golongan ini semoga kita paham apa arti sebuah
perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa pentingnya sebuah
negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan - perbedaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar