Sabtu, 01 November 2014

All About Islam

PENDAHULUAN

Bermula dari Hadist Nabi Muhammad SAW. Diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menjelaskan tentang apa itu Islam, Iman, dan Ihsan sebagai landasan dalam beragama

“Dari Umar Radiallahuanhu Berkata : suatu ketika kami ( para sahabat ) duduk di dekat         Rasulullah SAW. Tiba – tiba mincul kepada kami seorang lelaki mengenai pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan dan tak seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Ia langsung duduk dihadapan nabi lalu lututnya disandarkan kepada lutut nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha nabi kemudian berkata :  ”Wahai Muhammad! Beritahu kepadaku tentang Islam?” Nabi bersabda : “Islam adalah engkau bersaksi tiada tuhan selain Allah SWT, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah jika mampu melakukannya”. Lelaki itu berkata : “Engkau Benar” maka kami heran karena dia yang bertanya dia pula yang membenarkannya. Kemudian Ia bertanya lagi “Beritahukan kepadaku tentang Iman?” Nabi bersabda  “Iman adalah engkau beriman kepada Allah SWT, Malaikat-Malaikatnya, Kitab-Kitabnya, Para Rasulnya, Hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah SWT yang baik dan yang buruk” lelaki itu berkata “Engkau Benar” dan dia bertanya lagi “beritahukan kepadaku tentang Ihsan?” Nabi bersabda “Hendaklah Engkau beribadah kepada Allah SWT seakan-akan Engkau melihatnya. Kalaupun Engkau tidak melihatnya, sesungguhnya dia melihatmu.” Lelaki itu berkata lagi “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Hari Kiamat?” Nabi bersabda “Yang ditanya tidaklah lebih tau daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya?” Nabi bersabda “Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya, jika Engkau melihat orang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju, serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.” Kemudian lelaki itu segera pergi. Umar pun terdiam sehingga Nabi bertanya kepadanya “Wahai Umar! Tahukah Engkau siapakah yang bertanya tadi?” Umar menjawab “Allah dan Rasulnya lebih mengetahui” Nabi bersabda “Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang Agama kalian.”(HR. Muslim)

              Dari konteks diatas kita dapat mengambil point penting bahwasannya Islam adalah engkau bersaksi tiada tuhan selain Allah SWT, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah jika mampu melakukannya”. Point penting tersebut tercantum dalam Rukun Iman yang lima yang sudah kita pelajari dan ketahui ketika kita pertama mengenal Islam dengan satu tujuan yakni mentaati perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya.

              Dalam mempelajari Islam ada yang dinamai dengan Islam Normatif dan Islam Historis atau dengan kata lain Normativitas atau Historisitas. Islam Normatif cenderung mengacu kepada persoalan kontekstualiatas yang bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah sedangkan Islam Historis merupakan Islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia. Dengan demikian akan di bahas apa itu Islam dan apakah Islam itu Normativitas atau Historisitas?     

Definisi  
                Islam secara bahasa berasal dari kata salama yang berarti selamat, tunduk, berserah dan damai. Sementara kata islam merupakan jamak dari kata Aslama – Yaslimu – Islaman yang berati kepatuhan, ketundukan, dan berserah. Kata kerja aslama berarti menyerahkan, mematuhi, dan tunduk. Yang dimana penggunaan kata aslama menunjukkan mutlaknya dilakukan proses untuk meraih keselamatan. Dengan maksud selamat yang diberikan kepada seseorang bukan dalam bentuk pemberian tanpa kerja. Tetapi, untuk mendapatkan keselamatan dibutuhkan proses dalam bentuk usaha dan kerja serius.

Definisi Lain Secara Bahasa
*      Berasal dari kata salm yang berarti damai
Kata salm memiliki arti damai atau perdamaian. Yang merupakan sebuah ciri dari Islam bahwasannya Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia kepada perdamaian

*      Berasal dari kata aslama yang berarti menyerah
Kata aslama menunjukkan bahwa seorang yang memeluk agama Islam merupakan seseorang yang secara ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya kepada Allah SWT.

*      Berasal dari kata saliim yang berarti suci dan bersih
Kata saliim menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang suci dan bersih yang mampu menjadikan para pemeluknya untuk memiliki kebersihan dan kesucian jiwa yang dapat mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun akhirat.

*      Berasal dari kata salama yang berarti selamat dan sejahtera
Kata salama dimaknai bahwasannya Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia kepada keselamatan dan kesejahteraan


                          Secara Istilah Islam dapat diartikan sebagai seorang hamba yang taat kepada wahyu Allah SWT  yang diturunkan kepada para nabi dan rasul khususnya nabi Muhammad SAW yang digunakan sebagai pedoman hidup dan juga sebagai hukum atau aturan Allah SWT yang dapat membimbing umat manusia ke jalan yang lurus, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

                          Dengan demikian,  dapat ditarik poin-poin penting mengenai Islam sebagai agama yang di ridhai Allah SWT sebagai berikut :

*      Islam sebagai wahyu ilahi
*      Diturunkan kepada Nabi dan Rasul Allah SWT
*      Sebagai pedoman hidup
*      Mencakup hukum-hukum Allah dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah Rasulullah SAW
*      Membimbing manusia ke jalan yang lurus
*      Menuju kebahagiaan dunia dan akhirat

Pendapat Tokoh – Tokoh Mengenai Definisi Mereka Terhadap Islam

*      Mahmud Syaltut
Islam adalah agama Allah SWT yang di wasiatkan untuk mempelajari pokok-pokok dan syari`atnya kepada nabi Muhammad SAW dan wajib menyampaikannya kepada seluruh umat manusia

*      Harun Nasution
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah SWT kepada masyarakat manusia melalui nabi Muhammad SAW. Yang pada hakikatnya Islam membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi. Tetapi, mengenal berbagai segi dari kehidupan manusia.

*      Maulana Muhammad Ali
Islam adalah agama perdamaian yang mengacu pada dua ajaran pokoknya. Yakni, keesaan Allah SWT dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya.


Islam Normatif dan Islam Historis
                                    
Dalam meneliti Islam haruslah ada kejelasan antara Islam Normatif atau Islam Historis yang kemudian kata-kata tersebut tercantum dalam buku yang berjudul “Studi Agama Normativitas atau Historisitas?” yang di karang oleh Dr. M. Amin Abdullah sebenernya kata Normatif maupun Historis sama-sama mempunyai munasabah (keterkaitan) dalam mendefinisikan Islam. Dalam buku yang berjudul “Pengantar Studi Islam” karangan Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A. mendefinisikan Islam Normatif dan Islam Historis yang hampir sama penyebutannya dengan Islam sebagai wahyu dan Islam sebagai produk sejarah. Islam Normatif sama halnya dengan Islam sebagai wahyu ilahi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk kebahagiaan dunia dan akhirat sedangkan Islam secara Historis atau Islam sebagai produk sejarah adalah Islam yang dipahami dan Islam yang di praktekkan kaum muslim di seluruh penjuru dunia, dimulai dari masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang.   

Hubungan antara Islam Normatif dan Islam Historis

                Amin Abdullah dalam bukunya mengatakan, bahwa hubungan antara Islam Normatif dan Islam Historis ibarat sebuah koin dengan dua permukaan. Hubungan antara keduanya tidak dapat dipisahkan.  Tetapi, secara tegas dan jelas dapat di bedakan.




Kesimpulan

                Islam merupakan agama yang murni dari Allah SWT yang di wahyukan kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikatnya ( Jibril ). Berpedoman kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dan menjadi landasan bagi manusia tuk berpegang  teguh pada keduanya hingga mereka selamat di dunia dan akhirat.

                Adapun Islam Normatif dan Islam Historis hanya sebagai penguat akan keberadaan Islam di muka bumi ini dan dapat juga di jadikan pelengkap fakta akan adanya Islam sebagai Agama mutakhir yang akan selamat di akhir episode dunia kelak. Maka, brangsiapa yang telah berpegang teguh pada ajaran Islam hendaklah mengerjakan segala perintahnya ( Allah ) dan menjauhi segala larangannya    ( Allah ) agar kita bersama-sama dapat menjadi seorang muslim yang Kaffah dan di ridhai oleh Allah SWT.
                  



DAFTAR  PUSTAKA
Abdullah,  Amin.  Studi Islam : Normativitas atau Historisitas? : Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2011.
Nasution, Khairuddin. Pengantar Studi Islam : Yogyakarta. ACAdeMIA, 2012.
Mata-air-ilmu-pusat-kecemerlangan.blogspot.com/2013/05/hadist-iman-islam-dan-ihsan.html?m=1
Zaelaniqodir.blogspot.com/2011/06/islam-normatif-dan-islam-historis.html?m=1  


Perbedaan Universal Declaration Of Human Right (UDHR) dan The Cairo Declaration On Human Right In Islam (CD)

No.
PERBEDAAN


Universal Declaration Of Human Right
( UDHR )


The Cairo Declaration On Human Right In Islam
( CD )

1.

2.

3.


4.



5.


6.





7.





8.



9.

Terdeklarasi pada tahun 1948.

Di buat oleh Persyarikatan Bangsa – Bangsa
 ( PBB ).

Terdiri dari 30 Pasal.


Berlandaskan kepada tujuan dan dasar dari Persyarikatan Bangsa – Bangsa ( PBB ).


Bermaksud menjelaskan isi dari Magna Charta.

Pengaturan hak kebebasan beragama dalam UDHR tidak berdasarkan pada agama, kebudayaan dan ideologi tertentu, melainkan berdasarkan prinsip-prinsip umum yang diakui oleh masyarakat internasional.

Tidak terdapat pasal yang mengatur tentang hak untuk memperoleh keuntungan ( riba ).




Dalam UDHR yang  sesuai dengan Pasal 16 menegaskan, bahwa perkawinan beda Agama dibolehkan.

Terdeklarasi pada tahun 1990.

Di buat oleh Organisasi Konferensi Islam.
 ( OKI )

Terdiri dari 25 Pasal.


Berlandaskan kepada Syari`at Islam yang bersumber dari Al – Qur`an dan Al – Sunnah.


Bermaksud mengkoreksi dan menambahkan aturan – aturan yang terdapat dalam UDHR.

Pengaturan hak kebebasan beragama dalam CD hanya berdasarkan pada sebuah agama tertentu, yaitu Islam.



Ketentuan Pasal 14 CD yang mengatur tentang hak untuk memperoleh keuntungan yang sah tanpa usaha monopoli dan larangan untuk melakukan riba.


Perkawinan antar Agama ( beda agama ) tidak diperbolehkan / dilarang.


              
Rumusan UDHR yang dianggap bertentangan dengan Islam dihilangkan. Seperti, Pasal 16 (1) tentang perkawinan yang tidak harus dibatasi oleh agama, dan Pasal 18 yang dianggap bertentangan dengan prinsip akidah Islam yaitu tentang kebolehan berpindah agama (murtad).

Jumat, 31 Oktober 2014

Pemikiran Politik Sunni, Syi`ah, Khawarij, dan Mu`tazilah


       PEMIKIRAN POLITIK SUNNI
Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa. Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan, namun atas pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipresentasikan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.
Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin.Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba – hamba pilihan – Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah Ghazali adalah muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat. Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak – hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa erajat.Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan – Nya kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan – Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.(QS.Al – An’am, 6:165).

Hai orang –orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS.Al – Nisa’,4:59).

Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di bumi – Nya.Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al – Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran – ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.
Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa.Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al – Mawardi yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih.
Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.
Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku Quraisy di dalam pemikiran politiknya.
Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.

     PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH
Sebelum merambah lebih jauh lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini.Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik Islam, selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali, para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad  SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah, yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al – Nadwa di Madinah, dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at – Tahkim atau arbitasi.Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali.
Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.

Kaum Syi’ah menetapkan bahwa seorang imam:
1.        Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2.        Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
3.        Seorang iam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan dengan syari’at.
4.  Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.

Tidak seperti kelompok syi’ah lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi.Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam.Nabi hanya menetapkan sifat – sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau.Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimn dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase).Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi.
Iqbal menulis, secara sosio – politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor.Pertama, imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik.Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi.Merek tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil.Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam.Sebagian pemimpin yang ide.Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga: diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
Diantara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’ Asy’ariyah).
Sebelum membahas lebih lanjut sebaiknya mengetahui nama – nama masing imam dalam tubuh Syi’ah:
1.        Zaidiyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid ibn Ali.
2.        Isma’iliyah atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Isma’il ibn Ali.
3.        Imamiyyah atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Musa al – Kadzim, Ali al – Ridho, Muhammad al – Taqi’, Ali al – Hadi, Hasan al – Askari, Muhammad al – Mahdi.

       PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ
Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah.
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok.
Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al – Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran – aliran Khawarij.
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan kedemokrasian klompok ini.

     PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH
Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.
Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan – perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosadalam referensi lain disebutkan orang yang berbuat dosa besar. Namun Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka namun belum ada kata sepakat antara mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia.
Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ini ada tiga pemikiran politik kenegaraan dalam Islam.Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok Sunni.Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah kecuali Syi’ah Zaidiyah.Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij.
Dengan mengetahui pemikiran politik masing - masing golongan ini semoga kita paham apa arti sebuah perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa pentingnya sebuah negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan - perbedaan.